Apa artinya mencintai dengan tulus di dunia yang terasa semakin terputus? Terinspirasi oleh video Biblical Bookworm tentang runtuhnya hubungan percintaan dan pernikahan, saya merenungkan perjuangan saya sendiri untuk menjalani cinta tanpa pamrih—terkadang dengan cara yang paling tak terduga, seperti berbagi pizza dengan orang asing.
Video Biblical Bookworm, “The Collapse of Dating and Marriage,” membahas mengapa begitu banyak orang merasa putus asa tentang cinta saat ini. Ia menghubungkan krisis ini dengan hilangnya kepercayaan pada cinta itu sendiri dan kemerosotan nilai-nilai Kristen, dengan menyatakan bahwa inti Kekristenan adalah panggilan untuk cinta yang radikal dan tanpa pamrih.
Beberapa hal penting dari pesannya:
Pesannya sangat menyentuh saya, terutama karena dia mengatakan "menjadi seorang Kristen pada dasarnya berarti percaya pada kasih." Saya pikir saya mulai memahami apa maksudnya.
Sebagai pembangun sistem, saya tidak secara alami terhubung dengan hal-hal abstrak seperti kutipan inspiratif. Saya ingin melihat bagaimana segala sesuatu bekerja di dunia nyata, bukan hanya mendengar tentang cita-cita. Itulah sebabnya saya selalu mencari contoh konkret—terutama jika menyangkut sesuatu yang mendalam (dan rumit) seperti cinta.
Beberapa hari yang lalu, saya mengalami suatu pengalaman yang membuat pesan Biblical Bookworm terasa menyentuh hati. Saya sedang berada di pusat kota untuk urusan perbankan dan melihat enam orang tunawisma berkerumun di ambang pintu, berbagi sedikit sisa makanan. Sebelumnya, saya membeli pizza dan, tanpa diduga, pelayannya memberi saya satu pizza lagi. Hal itu belum pernah terjadi pada saya sebelumnya.
Saat saya berjalan melewati kelompok tunawisma, sebuah suara dalam hati mendorong saya untuk memberi mereka pizza tambahan. Awalnya saya menolak—saya ingin menyimpan hadiah saya! Namun kemudian saya sadar: mungkin pizza itu sebenarnya bukan untuk saya. Mungkin Tuhan telah mendorong pelayan untuk memberikannya kepada saya agar saya dapat meneruskannya. Ego saya harus disingkirkan agar orang lain dapat diberkati.
Ketika saya menawarkan pizza, seorang wanita dalam kelompok itu berseru, "Oh, sial!"—kegembiraan dia menular, sambil mengumpat. Saya tidak merasa bahwa Tuhan peduli dengan bahasanya, hanya saja kebahagiaannya adalah tujuannya. Momen itu terasa seperti perwujudan kecil namun nyata dari jenis kasih yang digambarkan oleh Biblical Bookworm: rendah hati, tidak mementingkan diri sendiri, dan praktis.
Ini bukan pertama kalinya saya mendengar suara hati itu. Baru-baru ini, ketika sedang berjalan dan berdoa untuk kesehatan ayah saya, saya merasa terdorong untuk berlutut dan berdoa di halte bus—posisi berdoa klasik, lutut di atas beton, lengan di atas jok. Saya membantah suara itu, khawatir terlihat bodoh. Sebaliknya, saya hanya duduk dan berdoa (berpura-pura sedang menunggu bus), dan setelah itu merasa telah mengecewakan Tuhan. Jika saya tidak dapat menuruti dorongan sederhana, dapatkah saya dipercaya dengan sesuatu yang lebih besar? Jawaban itu membuat hati saya hancur.
Ayah saya (yang telah menjadi wadah penyembuhan ilahi) pernah mengatakan kepada saya bahwa suara Tuhan dapat terdengar seperti suara Anda sendiri, yang membuatnya sulit untuk dibedakan. Itulah sebabnya saya sekarang mencoba mencari hati saya dan mengandalkan kasih di dalam diri—karena, seperti yang dikatakan video tersebut, Tuhan adalah kasih, dan begitulah cara kita terhubung dengan-Nya.
Video lain yang saya tonton baru-baru ini menjelaskan bahwa kepedulian selalu membutuhkan biaya—kekesalan adalah harga dari komunitas, dan ego menghalangi hubungan karena kita takut menjadi rentan. Cinta sejati itu memalukan dan berisiko terluka, tetapi alternatifnya adalah budaya yang mementingkan diri sendiri tanpa hubungan yang nyata. Itulah krisis yang dihadapi Generasi Z dan, sejujurnya, kita semua.
Saat saya merenungkan runtuhnya hubungan percintaan dan pernikahan, saya merasa bahwa yang hilang bukan hanya romansa, tetapi serangkaian nilai yang pernah menyatukan masyarakat: cinta, keluarga, ketidakegoisan, dan hubungan yang tulus. Kita membutuhkan pejuang cinta—bukan hanya dalam pengertian Kristen, tetapi orang-orang yang bersedia mengutamakan cinta, komunitas, dan keluarga di atas ego, kekayaan, dan status. Jika tidak, ke mana kita akan menuju?
Video terbaru dari grup musik QWER yang bermain musik di sekolah Korea Selatan membuat saya menyadari hal ini. Dalam klip tersebut, ada lebih banyak guru daripada anak-anak di antara penonton—simbol nyata dari masyarakat di mana keluarga semakin menyusut dan anak-anak semakin langka. Ada momen yang menyayat hati ketika seorang anak laki-laki menangis saat bermain dodgeball, bukan karena permainan itu sendiri, tetapi karena ia tidak bersosialisasi dengan anak-anak lain seusianya. Di usia delapan tahun, ia berjuang melawan emosi seperti balita, tidak memiliki dukungan dan komunitas yang membantu anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat.
Ini bukan hanya masalah Korea; ini masalah global. Karena semakin sedikit orang yang menjadi orangtua, dan karena kepercayaan kepada Tuhan atau sumber kasih sayang tanpa syarat yang lebih tinggi memudar, banyak orang tidak pernah merasakan apa artinya mencintai atau dicintai tanpa syarat. Tanpa kasih sayang yang dirasakan orangtua kepada anaknya, atau rasa disayangi oleh sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, mudah untuk melupakan betapa pentingnya kasih sayang tanpa pamrih bagi kehidupan kita. Bagi banyak orang, tidak ada contoh nyata kasih sayang yang penuh pengorbanan—tidak ada model tentang cara memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Baik itu anak yang kesepian di Korea atau orang asing di jalanan kota saya sendiri, dunia ini sangat membutuhkan cinta sejati yang tidak mementingkan diri sendiri. Solusinya bukanlah sekadar mengikuti aturan atau mengejar kesenangan sesaat; melainkan menjadi tipe orang yang mencintai dengan mendalam, rela berkorban, dan berani.
Kita perlu membangun kembali budaya yang mengutamakan kasih sayang dan komunitas—di mana kita melihat orang lain sebagai percikan ilahi, yang layak mendapatkan perhatian dan hubungan, bukan sekadar pesaing dalam perlombaan untuk mendapatkan status. Jika tidak, kita berisiko menjadi masyarakat yang kaya dalam hal-hal, tetapi miskin dalam hal jiwa dan hubungan.
Menulis postingan ini tidak mengenakkan—mungkin sama tidak mengenakkannya saat dibaca—tetapi saya harap postingan ini membantu orang lain yang sedang tersandung dalam hidup. Jika ada lagu yang dapat menggambarkan perasaan saya saat menulis ini, lagu itu adalah “Almond Chocolate” oleh ILLIT.
“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” — Matius 25:40
Di sinilah saya saat ini: berusaha mendengarkan, mencintai, dan melepaskan ego saya—satu langkah yang canggung dan tidak nyaman pada satu waktu.
– GTT (Tim Gehlee Tunes)
“Datanglah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” - Matius 11:28 🕊️
Sekadar Penafian yang Ramah! 📢
GehleeTunes.com adalah situs penggemar dibuat oleh penggemar, untuk penggemar! Kami ingin merayakan Gehlee Dangca dan selera musiknya yang luar biasa, tetapi kami ingin menegaskan bahwa kami tidak berafiliasi dengan Gehlee, tim manajemennya, atau F&F Entertainment. Kami juga tidak memiliki hak cipta atas musik atau konten yang ditampilkan di sini. Kami hanya menyukainya dan ingin membagikannya kepada Anda! Jika Anda menemukan konten yang tidak sesuai dengan Anda, silakan hubungi kami — kami di sini untuk mendengarkan!
Ganti Bahasa: